Betawi, Hukum Mendel & AKABRI
Namanya Wawan, orang Citayam (Depok) asli, mungkin termasuk rumpun suku Betawi. Kulitnya sawo matang , badannya kecil, mukanya lugu cenderung goblok. Seorang office boy di kantor saya.
Saya jadi ingat, Nenek saya pernah menyebutkan ada dua tipe orang Betawi, pertama Betawi Tengah yang berlokasi di Tanah Abang, Kebayoran, Kemayoran dan sekitarnya. Biasanya Betawi tengah ini memiliki kulit yang kuning seperti keturunan cina, dan sebagian memiliki postur tubuh seperti campuran Arab. Logat mereka biasa diakhiri dengan "e" di akhir kalimatnya contohnya "mau kemane ?".
Yang Kedua, Betawi Pinggir, adalah penduduk asli di daerah gandul, depok dan Bekasi. Dengan postur kulit sawo matang ke arah gelap. Nama -nama mereka pun relatif tidak ditemukan artinya dalam kamus besar seperti Caoy, Adah, Mandra, Mastur. Logat mereka pun cenderung tidak menggunakan "e" di akhir kalimatnya. Mengenai benar tidaknya pengklasifikasian penduduk Betawi menurut nenek saya, saya belum mengeceknya ke buku-buku antropologi masyarakat betawi. Saya hanya menceritakan celotehan seorang perempuan Betawi Kebayoran uzur itu sambil menemaninya tidur siang. Dulu, sebelum beliau meninggal.
Sore ini , Wawan menunjukkan foto istrinya yang masih 19 tahun ke saya. reaksi saya "wah cakep ya istri kamu " . Sambil berceloteh panjang lebar soal perlunya merencanakan dan mengontrol kehamilan. Disitulah saya sadar saya harusnya jadi penyuluh KB di desa-desa terpencil \\^_^//. Pembicaraan pun bergulir ke hukum Mendel soal penurunan sifat genetik. Disitu saya sadar , saya harusnya jadi peneliti genetik hahahahhaha ..... dan saya bertanya kepada wawan "kamu IPA atau IPS ya ?", maksud saya kok dia tidak tahu hukum Mendel yang seharusnya diajarkan di SMA. :D
Lalu , entah awalnya dari mana, karena saat itu saya sibuk dengan email saya, si Wawan bercerita bahwa sebenernya dia punya cita-cita jadi ABRI. Disinilah drama dimulai, Wawan bercerita tidak seperti Wawan yang biasa. Seorang office boy yang lugu, goblok tidak ada inisiatif dan sering salah paham . Disitu Wawan bercerita seperti sesorang yang sudah memiliki visi dalam hidupnya. Karena banyak sekali orang yang saya temui tidak tahu apa keinginannya. Saat itu Wawan bercerita dengan sangat jelas, tetapi disertai dengan nada menyesal.
Saat dia kecil dia sering melihat helikopter, pesawat terbang dan tank ABRI di televisi, disitulah keinginannya timbul. Dia masuk salah satu SMA unggulan di Depok dengan beasiswa, Selepas SMA dia pun mendaftar di AKABRI dan diterima. Namun pendidikan di AKABRI tidak dilanjutkan karena untuk penempatan pertama yaitu ke Papua, Wawan tidak mendapat izin orang tuanya untuk pergi. Orang tuanya bilang ke dia kalau mereka sudah tua, dan mengharapkan Wawan untuk mengurusnya.
Merasa bimbang dengan pilihan hidupnya, Wawan meminta pendapat seseorang entah Kyai entah Ustad (saya sedang manifest dokumen Suzuki saat dia cerita jadi tidak fokus) . Wawan menyebutnya dengan "motivator ". Saya pun membayangkan seseorang seperti Mario Teguh dengan peci dan sarung dan berdomisili di Citayam-Depok. Si Motivator itu bilang ke Wawan " ya mungkin ini jalan hidup kamu, menuruti keinginan orang tua supaya berkah ". Jadilah Wawan mengurungkan cita-citanya sedari kecil untuk menjadi ABRI.
Keinginan untuk melanjutkan kuliah pun dia utarakan kepada orang tuanya. Namun yang didapat adalah keraguan orang tuanya mengenai biaya yang harus dibayarkan untuk kuliah. Tiada pilihan ditambah adanya kebutuhan hidup menjadikan Wawan melamar di perusahaan outsourcing penyedia jasa office Boy.
Saat ini , mungkin sudah sekitar lima tahun Wawan menjadi office boy. Dia pun bercerita, dia pernah bertemu temannya yang sama-sama masuk AKABRI dulu. Tidaklah dia mengenali lagi perawakan temannya yang sudah berotot ala-ala tentara masa kini , apalagi ditambah dengan seragam. Temannya yang saat itu sedang dinas untuk pengawalan RI 1 tidaklah sempat berbicara lama dengan Wawan. Ceritanya pun ditutup dengan pandangan mata mengawang dan raut muka penyesalan.
Saya hanya bertanya kepada dia , "Kalau lulus AKABRI sudah langsung Pamen (Perwira Menengah) toh ?". "Iya Mbak, sudah langsung Letnan Dua" .
Saya pun menutup pembicaraan KB, hukum mendel, AKABRI dan RI 1 dengan berkata "kuliah lah Wan, kuliah".
Saya jadi ingat sewaktu saya dulu masih mahasiswa, saya bergabung dengan suatu student club yang kegiatannya membantu biaya pendidikan anak - anak kecil di sekitar kampus. Ada anak yang tidak melanjutkan SMP karena orang tuanya lebih menginginkannya untuk membantu orang tua.
Kesel, gemes, baper, Saya jadi bertanya pada diri saya sendiri "miskin karena bodoh, atau bodoh karena miskin?". Saya jadi berpikir ini saya yang punya mental rebel alias durhaka atau mereka yang tidak mau berusaha ?. Menyedihkannya adalah halangan seseorang untuk mencapai cita-citanya bukan karena keadaan financial tapi lebih karena dominansi orang - orang terdekat yang mereka hormati yang tidak mendukung.
Jakarta 31 Maret 2016
Comments
Post a Comment