Kabur dari Jakarta, Nyasar di Bologna
(De)motivasi 1
“Every corpse on
Everest was once an extremely motivated person”
-Paul Taylor-
Sewaktu kecil gue pengen banget punya suami orang
Jepang. Kenapa Jepang? Karena tetangga
gue suaminya orang Jepang, mukanya mirip-mirip Takeshi Kaneshiro, he looks forever young, memiliki 3 anak
hasil kawin silang yang lucu-lucu, dan
menurut keterangan istrinya yang tipe
ibu-ibu OKB (Orang Kaya Baru) suaminya yang Jepang ini merupakan suami yang
baik dan nurut pada istri.
Takeshi Kaneshiro Sumber : Tumblr |
Demi menunjang cita-cita nan mulia semasa kecil yang lantas di
bakar oleh semangat nonton show-nya boyband, anime dan Dorama
Jepang pada waktu kuliah gue pun akhirnya ambil les bahasa Jepang
dan berniat ikut monbukagakusho, sebuah beasiswa prestisius dari pemerintah
Jepang.
Sumber : Privateuni.com |
Apa daya tahap dokumen
saja gue gak lulus sudah dua kali mencoba
gagal terus, jadi ya gue lupakan saja keinginan itu. Gak jadi kuliah di Jepang akhirnya gue kerja di Perusahaan Jepang. Sebenernya itu kantor ke-2 gue, gara –gara waktu itu gue satu lift sama orang–orang Jepang dari Mitsui
Indonesia di Gedung Menara BCA. Gue sempet kepikiran “kok Jas mereka
bagus-bagus ya ? bahannya beda“ dari
situlah mulai cari-cari lowongan di perusahaan Jepang. Masuklah gue ke kantor Buaya bertato, “Siapa
tahu ada Jepang single nyantol” pikir
gue saat bergabung bersama kantor itu, apa
daya cuman ada 2 orang Jepang di kantor tersebut, yang satu tua dan galaknya pol, yang
satu lagi setengah tua dan dodolnya pol.
Yah karena gaji yang diberikan
cukup oke ditambah teman –teman yang seru
gak terasa gue bertahan selama 5
tahun di perusahaan itu.
Ekspektasi gue pas bergabung dengan perusahaan Buaya Bertato bakal ketemu yang model begini ternyata...... availablenya yang tua dan galak :( sumber gambar: Uniqlo |
Karena perusahaan Jepang ini pinter banget bikin karyawannya
sibuk. Gue mulai lupa dengan keinginan sekolah di luar negeri. Sampe akhirnya
umur 26 tahun dan gue belum kawin. Mama
Endang, segenap om, tante, nenek sampe supir taksi pun mulai secara agresif
menjodoh-jodohkan dan Tanya “kapan nikah?” Iya anda tidak salah baca, supir
taksi, juga ikut menjodohkan gue dengan sepupunya yang Polantas, katanya “Enak
mbak, kalo akhir bulan duitnya dia masih banyak, pasti mbak nanti dapet banyak
uang jajan “. Wadepak ! Dude I am not that
desperately need a husband. I really appreciate his good intention, but
seriously ! I am not that desperate to have husband?” Kejadian ini terjadi
saat gue naik taksi mau kondangan
ke nikahan teman di
gedung Perpustakaan Nasional
Jakarta
Tidak cukup menanyakan “kapan nikah ?” dan jodoh-jodohin,
Mama Endang mulai mengambil tindakan represif ala pemerintah Orde baru dengan cara.
Membawa gue ke klinik Ruqyah. Ya , anda
benar, anda tidak salah baca. Berlatar belakang keluarga yang relijius menjadikan pribadi Mama Endang
juga relijius maka ditempuhlah jalan spiritual untuk menyelesaikan fenomena single
millennial ibukota seperti gue.
Hasilnya Clean & Clear, I have no demon in myself.
Pas di ruqiyah yah reaksi gue biasa aja gak muntah, gak pusing ataupun gejala-gejala lain yang terdapat dalam film Conjuring. Si Teteh tukang ruqiyah nya pun mengesahkan bahwa tidak ada Jin nemplok di gue macam film horror Thailad “The shutter”. Mama Endang, Om–om dan Tante –tante pun kehabisan akal. Mereka terus melakukan upaya persuasif, mungkin lebih tepatnya upaya invasi zona privasi karena mereka begitu annoying. Ya, mungkin niatnya bagus, tapi niat bagus berubah jadi kezoliman terhadap privasi gue. Muak, Pasti, Ingin kabur apalagi.
Mulai dari situ gue
mikir “mungkin ini saatnya kabur” , gue biasa jogging setiap minggu di Car Free Day Jakarta, dan sekarang
saatnya ilmu jogging itu harus
diterapkan dalam kehidupan nyata. I Have
to run from this religious cultural social environment. Tapi kemana? terus mau ngapain? kerja atau kuliah? Kalau kerja kerja apa? kalau mau kuliah ke
luar negeri kemana? jurusan apa ?. Ingin
kabur ke Bali, tapi gaji di Jakarta lebih menggiurkan. Lagipula Bali panas
banget dan gue gak bisa naik motor.
Ingin kabur ke Singapore tapi ngelamar kerja gak dapet-dapet, pernah sih
kepikiran apa jadi TKW . Tapi gak jadi
juga, takut bikin skandal sama majikan
terus nantinya disetrika sama nyonyah yang punya rumah. Setelah melalui pemikiran panjang, gue mikir kalau
mau kerja dengan posisi yang baik di
luar negeri ya harus sekolah di luar negeri.
Tapi gimana caranya ?
Setelah vakum bertahun-tahun dari kelas rasanya susah dan malas sekali untuk belajar. Apalagi mempersiapkan segala tetek bengek untuk kuliah di luar
negeri. Orang tua bukan pejabat ataupun
pengusaha. Selain itu gak ada di keluarga gue yang sekolah ke luar negeri sebelumnya
jadi tidak ada tempat sharing .
Berbekal romantisme
buku Laskar Pelangi yang membuat
semua millennial bermimpi kuliah di luar negeri. Akhirnya saya
mulai memiliki niat untuk cari-cari informasi.
Semua harus cari-cari sendiri, tidak ada
mentor atau teman dekat yang kuliah S2 di luar negeri waku itu. Kalau di
inget-inget lagi masa-masa itu serasa Long and winding road. Apalagi kalau udah pulang kerja, tenaga serasa
habis setelah jam 5 sore, ada tenaga ekstra
buat nonton youtube ajah udah Alhamdulillah. Mau cari-cari info beasiswa rasanya malas dan
lelah. Apalagi sesuatu yang tidak di-support oleh keluarga. Karena keluarga lebih bangga kalau gue cepat nikah. Disitu gue baru
ngerasa, kalau pendidikan dan pola pikir
orang tua itu penting banget untuk mendukung karir dan pendidikan sang
anak.
Karena keluarga gue dari keluarga yang biasa-biasa saja,
hanya satu orang Om yang menempuh S2. Jadi
gue mau kuliah lagi itu sesuatu yang
sedikit aneh dan mereka pada takut gue tambah susah dapet jodoh.
Pada masa-masa itu
keinginan buat kabur ke luar negeri dengan cara kuliah menjadi sesuatu yang di awang–awang. Ditambah
kalau sudah bertahun-tahun kerja itu rasanya sulit banget meninggalkan comfort zone, apalagi punya gaji
sendiri. Bisa beli ini itu, makan apa aja, liburan, ngopi cantik, nonton dan
kegiatan menguras duit lainnya ala anak gaul Jakarta. Pas lagi gamang dengan
keinginan kuliah di luar negeri yang
berlandaskan keinginan kabur dari my real
life at Ibukota, datanglah sebuah
pertanda dari alam semesta.
2014, gue buka puasa
sama teman-teman anak Fikom UNPAD. Terus datanglah mutual
friend salah satu temen gue. Namanya Angga, perwakan kurus badannya seperti
hidup segan mati tak mau. Pandangan kuyu,
bibirnya hitam karena tidak cocok sama rokok di US katanya, Gaya anak distro dengan sepatu Nike. Temen SMA
Yan dan Yoga (Yan dan Yoga temen
gue di Fikom UNPAD). Tadinya gue juga lupa-lupa inget sama
Angga, tapi pas diingetin lagi kalo Angga itu yang pernah nge-trip
bareng ke Ujung Kulon gue baru inget itu orang.
Si yoga bilang “si Angga kuliah di US tuh Tay” ,
“Serius?, kampus apaan ?”
jawab gue
“Ngetop kampusnya di California “
“UCLA? Berkeley?”
tebak gue
“Bukan !” , “apa Yan nama kampusnya si Angga?”
“ Standford ” jawab Yan
Seriously, Standford?
Tempatnya si Elon musk, Marisa Meyyer, Chelsea Clinton and Sergei Brin. Jadi don’t
Judge a book by its cover itu benar
adanya. Sewaktu ketemu sama si Angga ini pas lagi nge-trip
ke Ujung kulon si Angga ini tampak tidak
memiliki ambisi saudara-saudara alias
lebih senang maen tanpa
memikirkan masa depan. Tapi ternyata he
got that Standford thing dan part time job at Google Palo Alto,
California.
Sumber: Indeed.com |
Otomatis gue penasaran dong si Angga ini kuliah S1 nya dimana, sampai dia bisa
dapat Standford. Tebak S1 nya dia
dimana? UI ? ITB ? UGM ? BINUS? NTU? NUS? UPH? bukan saudara-saudara sekalian.
S1-nya si Angga ini di Perbanas jurusan
IT, yup kampus swasta yang lebih ngetop
karena jurusan akunting dan perbankan
nya dibandingkan jurusan IT. Karena kalau jurusan IT orang-orang lebih memilih
Binus untuk universitas swasta. Shock, sudah pasti, iri apalagi, mupeng,iya banget. Ditambah omongannya Yoga “Kaget ya Tay ? Gak
guna tuh SPMB terus kuliah di kampus Negeri, yang penting S2 di Standford !”.
Shit !
Sejak saat itulah saya niat saya buat kuliah ke luar negeri jadi membulat,
bulat pake banget. Kalau kata orang
Singapore “If he can do I die die must can do” (kalau dia bisa, gue mati-matian harus bisa
).
Comments
Post a Comment